Catatan tentang ibu yang bunuh diri setelah membunuh anak-anaknya di negeri ini mungkin belum banyak. Kendati demikian, catatan-catatan itu merangkum perilaku yang bersifat luar biasa (extraordinary), dan perilaku yang luar biasa itu mencerminkan keadaan diri dan masyarakat yang luar biasa pula. Sifat luar biasa itu terwakili oleh sosok paradoksal ibu yang menjadi tokoh utama dalam peristiwa-peristiwa tragis itu.
Dalam buku teks psikiatri acap kali didengungkan bahwa jika dibandingkan dengan kaum pria, kaum wanita lebih jarang mengakhiri hidup mereka dengan bunuh diri. Kini, catatan-catatan di negeri kita mulai berbicara beda, bahkan amat beda. Sosok ibu yang secara universal mewakili perjuangan melindungi kehidupan anak-anak justru kini tampil sebagai sosok berfrustrasi amat parah, yang tidak lagi melihat harapan baik apa pun bagi anak-anak mereka di tengah penerusan kehidupan. Jungkir balik tata kehidupan itu ditandai oleh masyarakat kita yang makin miskin empati. Miskin empati berarti miskin kepedulian, miskin pengertian, dan miskin penerimaan antarinsan. Realitas kehidupan umat manusia niscaya ditandai oleh bekerjanya empati. Realitas kehidupan niscaya diresapi kepedulian, pengertian, dan penerimaan antarinsan pada tingkat yang bermakna. Itulah hakikat tata kehidupan yang niscaya. Namun, kini, tata kehidupan itu jungkir balik, dan yang terejawantah adalah tata kehidupan yang miskin kepedulian, miskin pengertian, dan miskin penerimaan antarinsan. Dengan empati, kita bisa menghayati betapa ibu yang bunuh diri setelah membunuh anak-anaknya, seperti yang terjadi di Malang beberapa hari lalu (Kompas, 12 Maret 2007), adalah insan yang tidak lagi melihat harapan baik apa pun bagi dirinya dan anak-anaknya di tengah kehidupan. Mungkin pada mulanya sang ibu akan mengakhiri hidupnya sendirian, tetapi dia membayangkan betapa sepeninggal dirinya, anak-anak akan telantar karena tidak akan ada orang yang peduli kepada anak-anak itu. Sang ibu tidak mau membiarkan anak-anaknya menderita di tengah kehidupan yang miskin empati itu, maka dia memutuskan untuk lebih dulu mengakhiri hidup anak-anaknya, sebelum dia sendiri mengakhiri hidup dengan bunuh diri. Mencuatkan pesan Peristiwa-peristiwa bunuh diri seperti itu mencuatkan pesan tentang masyarakat kita yang miskin empati. Yang kini merebak di tengah kehidupan masyarakat kita adalah lawan dari kepedulian antarinsan, yaitu tindakan mementingkan diri sendiri, bahkan tindakan narsistis atau cinta diri berlebih, yang mencuatkan gejala kehidupan mewah di tengah hamparan masyarakat luas yang miskin, dan tindakan menyalahgunakan kekuasaan di tengah hamparan rakyat yang menderita. Yang kini merebak di tengah masyarakat kita adalah lawan dari pengertian antarinsan, berupa kecenderungan untuk makin sedikit mendengarkan orang-orang lain, yang disertai ingar-bingar kesukaan berlebih untuk memamerkan diri sendiri, bahkan menyombongkan diri sendiri. Yang kini merebak juga di tengah masyarakat kita adalah lawan dari penerimaan antarinsan, berupa kecenderungan saling menolak, bahkan kecenderungan saling meniadakan, di tengah perspektif realistik masyarakat yang mau tak mau selalu ditandai keberbedaan dan keanekaragaman. Miskinnya penerimaan antarinsan mencuatkan gejala penegasan keberbedaan yang mengarah ke pemisahan (polarisasi, fragmentasi, bahkan disintegrasi) "Diri" dengan "Pihak Lain". Padahal, empati adalah kekuatan yang luar biasa dan niscaya untuk mengatasi masalah-masalah di tengah masyarakat dan bangsa. Sayang sekali, ia sangat sering diremehkan dan diabaikan. Orang-orang lebih percaya kepada kekuatan kepintaran, ilmu pengetahuan, dan teknologi semata-mata. Ketiga hal terakhir itu memang penting, tetapi acap kali kepintaran, ilmu pengetahuan, dan teknologi tidak mampu mengejawantahkan kesejahteraan, kebahagiaan, dan kedamaian bagi masyarakat karena mereka tidak digunakan oleh insan-insan yang mempersenjatai diri dengan empati. Ketika di sana-sini terbetik kabar ada ibu-ibu yang membunuh anak-anak mereka lalu bunuh diri karena kemiskinan, dengan gampang tokoh-tokoh berteriak lantang agar bangsa ini membantu rakyat miskin dan mengatasi kemiskinan. Mereka semua tahu bahwa kemiskinan niscaya diatasi. Namun, dalam kenyataan, tindakan yang diwujudkan untuk mengatasi kemiskinan tidak efektif. Ketidakefektifan ini terjadi bukan karena mereka tidak tahu apa yang niscaya mereka lakukan, melainkan karena mereka tidak kunjung mengejawantahkan tindakan-tindakan yang sungguh memadai untuk mengatasi kemiskinan. Mengapa demikian? Karena, kendati mereka tahu dan bisa, mereka miskin empati, dan dengan demikian mereka sungguh tidak memiliki daya untuk mengejawantahkan kebaikan dan kebenaran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar