Lulu Trifacilla

Lulu Trifacilla

Selasa, 26 Oktober 2010

Masyarakat Miskin

Catatan tentang ibu yang bunuh diri setelah membunuh anak-anaknya di negeri ini mungkin belum banyak. Kendati demikian, catatan-catatan itu merangkum perilaku yang bersifat luar biasa (extraordinary), dan perilaku yang luar biasa itu mencerminkan keadaan diri dan masyarakat yang luar biasa pula. Sifat luar biasa itu terwakili oleh sosok paradoksal ibu yang menjadi tokoh utama dalam peristiwa-peristiwa tragis itu.

Dalam buku teks psikiatri acap kali didengungkan bahwa jika dibandingkan dengan 
kaum pria, kaum wanita lebih jarang mengakhiri hidup mereka dengan bunuh diri.

Kini, catatan-catatan di negeri kita mulai berbicara beda, bahkan amat beda. 
Sosok ibu yang secara universal mewakili perjuangan melindungi kehidupan 
anak-anak justru kini tampil sebagai sosok berfrustrasi amat parah, yang tidak 
lagi melihat harapan baik apa pun bagi anak-anak mereka di tengah penerusan 
kehidupan.

Jungkir balik tata kehidupan itu ditandai oleh masyarakat kita yang makin 
miskin empati. Miskin empati berarti miskin kepedulian, miskin pengertian, dan 
miskin penerimaan antarinsan. Realitas kehidupan umat manusia niscaya ditandai 
oleh bekerjanya empati. Realitas kehidupan niscaya diresapi kepedulian, 
pengertian, dan penerimaan antarinsan pada tingkat yang bermakna. Itulah 
hakikat tata kehidupan yang niscaya. Namun, kini, tata kehidupan itu jungkir 
balik, dan yang terejawantah adalah tata kehidupan yang miskin kepedulian, 
miskin pengertian, dan miskin penerimaan antarinsan.

Dengan empati, kita bisa menghayati betapa ibu yang bunuh diri setelah membunuh 
anak-anaknya, seperti yang terjadi di Malang beberapa hari lalu (Kompas, 12 
Maret 2007), adalah insan yang tidak lagi melihat harapan baik apa pun bagi 
dirinya dan anak-anaknya di tengah kehidupan.

Mungkin pada mulanya sang ibu akan mengakhiri hidupnya sendirian, tetapi dia 
membayangkan betapa sepeninggal dirinya, anak-anak akan telantar karena tidak 
akan ada orang yang peduli kepada anak-anak itu. Sang ibu tidak mau membiarkan 
anak-anaknya menderita di tengah kehidupan yang miskin empati itu, maka dia 
memutuskan untuk lebih dulu mengakhiri hidup anak-anaknya, sebelum dia sendiri 
mengakhiri hidup dengan bunuh diri.

Mencuatkan pesan

Peristiwa-peristiwa bunuh diri seperti itu mencuatkan pesan tentang masyarakat 
kita yang miskin empati. Yang kini merebak di tengah kehidupan masyarakat kita 
adalah lawan dari kepedulian antarinsan, yaitu tindakan mementingkan diri 
sendiri, bahkan tindakan narsistis atau cinta diri berlebih, yang mencuatkan 
gejala kehidupan mewah di tengah hamparan masyarakat luas yang miskin, dan 
tindakan menyalahgunakan kekuasaan di tengah hamparan rakyat yang menderita.

Yang kini merebak di tengah masyarakat kita adalah lawan dari pengertian 
antarinsan, berupa kecenderungan untuk makin sedikit mendengarkan orang-orang 
lain, yang disertai ingar-bingar kesukaan berlebih untuk memamerkan diri 
sendiri, bahkan menyombongkan diri sendiri. Yang kini merebak juga di tengah 
masyarakat kita adalah lawan dari penerimaan antarinsan, berupa kecenderungan 
saling menolak, bahkan kecenderungan saling meniadakan, di tengah perspektif 
realistik masyarakat yang mau tak mau selalu ditandai keberbedaan dan 
keanekaragaman. Miskinnya penerimaan antarinsan mencuatkan gejala penegasan 
keberbedaan yang mengarah ke pemisahan (polarisasi, fragmentasi, bahkan 
disintegrasi) "Diri" dengan "Pihak Lain".

Padahal, empati adalah kekuatan yang luar biasa dan niscaya untuk mengatasi 
masalah-masalah di tengah masyarakat dan bangsa. Sayang sekali, ia sangat 
sering diremehkan dan diabaikan. Orang-orang lebih percaya kepada kekuatan 
kepintaran, ilmu pengetahuan, dan teknologi semata-mata. Ketiga hal terakhir 
itu memang penting, tetapi acap kali kepintaran, ilmu pengetahuan, dan 
teknologi tidak mampu mengejawantahkan kesejahteraan, kebahagiaan, dan 
kedamaian bagi masyarakat karena mereka tidak digunakan oleh insan-insan yang 
mempersenjatai diri dengan empati.

Ketika di sana-sini terbetik kabar ada ibu-ibu yang membunuh anak-anak mereka 
lalu bunuh diri karena kemiskinan, dengan gampang tokoh-tokoh berteriak lantang 
agar bangsa ini membantu rakyat miskin dan mengatasi kemiskinan. Mereka semua 
tahu bahwa kemiskinan niscaya diatasi. Namun, dalam kenyataan, tindakan yang 
diwujudkan untuk mengatasi kemiskinan tidak efektif. Ketidakefektifan ini 
terjadi bukan karena mereka tidak tahu apa yang niscaya mereka lakukan, 
melainkan karena mereka tidak kunjung mengejawantahkan tindakan-tindakan yang 
sungguh memadai untuk mengatasi kemiskinan. Mengapa demikian? Karena, kendati 
mereka tahu dan bisa, mereka miskin empati, dan dengan demikian mereka sungguh 
tidak memiliki daya untuk mengejawantahkan kebaikan dan kebenaran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar